Rabu, 25 Agustus 2010

Masa Depan Palestina ??


Padahal dalam Resolusi 181 tahun 1947—yang penuh tipu muslihat itu—disebutkan bahwa tanah yang diperuntukkan bagi Israel sebesar 57 persen saja. Namun rupanya resolusi 181 itu dianggap angin lalu saja. Karena Resolusi PBB No. 242 yang dikeluarkan pada 22 November 1967 ternyata hanya mengharuskan Israel keluar dari seluruh wilayah yang diduduki dalam perang 1967, yaitu Jerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, Golan dan Sinai. Artinya, selain wilayah-wilayah tersebut, diakui oleh PBB sebagai wilayah Israel.
Khusus untuk Jerusalem sendiri, sampai saat ini silang pendapat antara Israel dan PBB seperti tidak akan berkesudahan. Israel dari sejak 1949 menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota Israel, sementara PBB menyatakan bahwa Jerusalem berstatus internasional, tidak dimiliki oleh Israel atau Palestina. PBB dan dunia internasional pun sampai saat ini hanya mengakui Tel Aviv sebagai ibu kota Israel. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan kedubes dari berbagai negara, selain Indonesia tentunya, yang bertempat di Tel Aviv. Hanya Barack Obama saja yang dari sejak masa kampanyenya sudah berjanji akan memindahkan kedubes AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Melihat gelagat AS yang selalu pro-Israel dalam setiap resolusi yang dikeluarkan PBB tidak membuat dunia heran. Karena dari sejak keluarnya Resolusi 181 yang membagi wilayah Palestina pun AS-lah yang menjadi dalangnya, yang ketika itu dipimpin oleh Harry S Truman dari partai Demokrat. Maka dari itu, kalau tidak selalu memveto resolusi yang merugikan Israel, paling yang agak mendingnya AS abstain seperti yang terjadi pada resolusi 2009 kemarin. Pemandangan seperti ini jangan terlalu berharap banyak akan berubah di masa Barack Obama sekarang, karena faktanya lobby Yahudi terhadap kubu Demokrat, dari sejak awal, selalu lebih kuat dibandingkan kepada kubu Republik.
Terdapat beberapa analisa terhadap hubungan mesra antara AS-Israel tersebut: (1) Lobby Yahudi yang tak terkalahkan disebabkan donasi keuangan Yahudi yang selalu besar dalam kampanye para politisi AS, termasuk Barack Obama. (2) Faktor perasan bersalah dari AS atas ketiadaan tindakannya saat Holocoust (pembantaian sekitar dua juta Yahudi oleh Nazi, Jerman). (3) Kebutuhan bantuan dari seorang “the little David” (Israel) dalam peperangan melawan raksasa “Goliath” (Arab). (4) Afinitas alamiah antara negara demokrasi terbesar (AS) dengan satu-satunya negara demokrasi di wilayah Timur Tengah (Israel). (5) Kesamaan akar budaya Judeo-Christian antara masyarakat kedua negara. (6) Analisa yang paling bisa diterima, yakni adanya pergeseran musuh bersama dari yang semula Komunis menjadi Islam militan yang mengancam Barat setelah Uni Soviet bubar.
Sikap Indonesia
Terhadap fakta inilah Presiden Soekarno dari sejak awal telah menyerukan perombakan besar-besaran di tubuh PBB yang disebutnya kental dengan imperialisme. Adanya hak veto bagi kelima anggota Dewan Keamanan PBB adalah salah satu faktornya, demikian tegas Soekarno dalam pidato berjudul “To Bulid the World a New” (Membangun Kembali Dunia baru) di Markas PBB New York, 30 September 1960. Dalam pidato ‘Tahun Berdikari’ 17 Agustus 1965 Bung Karno secara lebih tegas lagi menuntut PBB untuk mengakui kesalahan-kesalahannya dan harus dirombak sama sekali.
Sebelumnya, ketika pada tahun 1955 Soekarno menggagas Konferensi Asia-Afrika, menurut Roeslan Abdulgani (Menlu RI periode 24 Maret 1956-28 Januari 1957 dan seorang tokoh PNI), salah satu jiwanya adalah jiwa anti-Zionisme. Dalam konferensi tersebut, Zionisme Israel oleh banyak delegasi dikatakan sebagai “the last chapter in the book of old colonialism, and the one of blackest and darkest chapter in human history” (babak terakhir dari buku kolonialisme kuno dan salah satu babak paling hitam dan paling gelap dalam sejarah kemanusiaan).
Sikap tersebut mencerminkan sikap Indonesia dalam masalah pendudukan Israel. Sikap seperti itu sampai saat ini tidak—atau mungkin belum—berubah. Karena pada era Orde Baru secara sembunyi-sembunyi usaha penjalinan hubungan diplomatik itu sempat terjadi, yang ditandai dengan pertemuan PM Israel Yitzhak Rabin dengan Presiden Soeharto di Jakarta pada tahun 1993. Juga pada era Gus Dur yang secara terang-terangan akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Bagi bangsa Indonesia, mengakui Israel sebagai negara berarti menggugurkan UUD 1945 yang secara terang-terangan mengutuk setiap bentuk penjajahan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Sikap Dunia dan Palestina (!?)
Akan tetapi pertanyaannya, bukankah sikap menolak Israel itu berarti menentang keputusan PBB? Pertanyaan seperti ini secara pragmatis telah memengaruhi sikap negara-negara lain di dunia untuk kemudian mengakui Israel saja. Karena bagaimanapun melawan PBB, sampai saat ini, dipandang sebagai sesuatu yang mustahil.
Dalam pandangan prgamatisme politik seperti ini pulalah, sangat disayangkan, sikap dari bangsa Palestina dalam memperjuangkan tanah airnya yang dirampas itupun tidak ada kesepahaman. Pasalnya, ketika negara Palestina merdeka diproklamirkan oleh Yasser Arafat, pemimpin PLO (Palestina Liberation Organization/Organisasi Pembebasan Palestina) di pengasingan pada tahun 1987, Amerika yang memiliki hak veto di PBB tetap tidak mengakuinya dan masih memasukkan PLO sebagai organisasi teroris. Baru kemudian pada 4 Desember 1988 ketika Yasser Arafat membuat pernyataan bahwa PLO mengakui negara Israel dan menerima Resolusi 242, Amerika bersedia membuka hubungan dialog dengan Yasser Arafat. Sejak saat itulah, setiap perundingan damai antara Israel dan PLO pasti selalu diprakarsai oleh Amerika, dan tentunya di bawah tuntutan yang dinginkan oleh Amerika dan Israel.
Penerus Yasser Arafat dan PLO-nya adalah Mahmoud Abbas dengan organisasi al-Fatah. Ia kini menjadi Presiden Palestina. Pada Pemilu 2006 silam, partai yang dipimpinnya, al-Fatah, kalah oleh Hamas yang berseberangan secara ideologi. Al-Fatah mengakui negara Israel, sementara Hamas dari sejak awal perjuangannya tidak pernah mengakui negara Israel. Kelanjutannya pun bisa ditebak, Amerika dan Israel tidak mengakui pemerintahan Hamas, dan kemudian memihak Abbas dan al-Fatah untuk mengendalikan pemerintahan. Al-Fatah yang mendominasi Tepi Barat mengambil alih kekuasaan di wilayah tersebut. Sebaliknya, Hamas yang menang telak di Jalur Gaza hanya efektif menjalankan pemerintahan di wilayah tersebut. Itupun harus dijalani dengan rongrongan tidak henti-hentinya dari al-Fatah, Israel dan Amerika seperti embargo ekonomi, serangan dari milisi al-Fatah, dan terakhir invasi dari Israel sendiri ke wilayah Jalur Gaza.
Dunia sampai saat ini masih bertanya-tanya, kenapa pemerintahan Abbas di Tepi Barat yang notabene Palestina tidak membantu Hamas. Demikian juga negara-negara Arab, khususnya Mesir, kenapa tidak membiarkan pintu perbatasan dibuka agar pengungsi tidak tertahan dan agar bantuan kemanusiaan tidak terganggu? Semuanya serentak menuduh Hamas sebagai biang keladi yang tidak henti-hentinya melakukan perlawanan kepada Israel.
Dunia seakan-akan telah kehilangan nuraninya untuk benar-benar secara jernih menilai, siapa sebenarnya sang pemantik api dari bara yang sekarang membakar Palestina. Dunia seakan-akan terpaksa merujukkannya pada Resolusi 242 yang mengharuskan adanya pengakuan terhadap negara Israel dengan 80 persen wilayah pendudukannya atas Palestina. Padahal sebagaimana telah diurai sebelumnya, Resolusi 242 itu keluar dengan tindakan biadab Zionis dan dengan terorisme negara yang dijalankan oleh Amerika-Israel dengan memanfaatkan kendaraan PBB. ns

Tidak ada komentar:

Posting Komentar